Page 67 - Binder MO 210
P. 67
Sejarah Warteg
Diperkirakan warteg muncul sekitar
tahun 1960-an. Kemunculannya
bebarengan dengan pembangunan
infrastruktur ibu kota yang berjalan
pesat setelah 20 tahun kemerdekaan
Indonesia. Kala itu Presiden Soekarno
berupaya mempercepat pembangunan
ibu kota. Momen ini lalu dimanfaatkan
oleh warga Tegal untuk mengadu nasib
di Jakarta yang saat itu kebanyakan
bekerja sebagai buruh bangunan di
lokasi proyek. Usaha buka warteg ini
biasanya dilakukan oleh para istri mereka.
Nasi ponggol sendiri merupakan
hidangan nasi putih lauk sambal tempe
dan tahu yang dibungkus daun pisang.
Ini merupakan kuliner khas tegal yang
sudah ada sejak berabad-abad lalu.
Harga yang ditawarkan kala itu sangat
murah meriah, namun rasanya tetap
lezat dan mengenyangkan. Sejak itulah
nasi ponggol jadi idaman bagi para
pekerja bangunan.
Seiring waktu, karena semakin
populer, dibangunlah warung-warung
kecil dengan ukuran 3×3 dengan
menu ponggol di sekitar lokasi proyek
pembangunan. Namun ternyata
kuliner ini juga disukai warga Jakarta,
baik dari segi rasa dan harga. Akhirnya
merambahlah warteg ke pemukiman
di awal tahun 1990-an dengan menu
yang lebih beragam, tak hanya nasi tahu
tempe saja. Kesuksesannya ini akhirnya
dijadikan batu loncatan masyarakat Tegal
untuk terus mengembangkan bisnis
kuliner ini. Tak ayal jika warteg pun bisa
kita temui di berbagai pelosok Indonesia,
mulai dari Sabang sampai Merauke.
mencari pekerjaan yang layak dan
Sosok Paling Berjasa Dalam menghasilkan rezeki untuk memenuhi
Perkembangan Warteg kehidupan keluarganya di rumah.
Menurut Asmawi, salah satu tokoh Dalam perantauan itu, banyak warga
warteg maupun penjual nasi warteg yang menjadi pekerja buruh bangunan
lainnya dilansir dari situs phinemo, sosok dan di sanalah kemunculan warteg
yang dianggap paling berjasa dalam atau penjual ponggol yang mulai
perkembangan dan asal muasal warteg berkembang,” tutur dia.
adalah Mbah Bregas. Dia adalah orang Kini, untuk memberikan
yang pertama kali mengajak orang Tegal penghormatan kepada sesepuh yang
merantau ke Jakarta. turut andil dalam perkembangan warteg
“Terutama warga Desa Sidakaton di ibu kota, warga menamai sebuah
dan Desa Sidapurna merantau ke tempat pemakaman dengan nama
ibu kota. Saat itu, merantau untuk ‘Mbah Bregas’. ■
| 67